Sekitar tahun 1900 an di pinggiran utara Kota Trenggalek tepatnya di Desa Kelutan hiduplah sepasang suami istri yang secara ekonomi dan sosial cukup terpandang bagi masyarakat sekitarnya. Konon mereka memiliki/ menguasai alat tranportasi berupa kuda yang jumlahnya mencapai puluhan ekor.
Namun, pasangan (namanya tidak diketemukan oleh penyusun) dengan empat anak lelaki (Soemoprawiro, Sadiran, Mukidi, Sastrosudarmo) oleh Tuhan diberi umur pendek. Keduanya meninggal pada saat anak-anaknya belum dewasa. Bahkan baru anak pertama yang sudah dikhitan, dan sudah sekolah. Anak kedua, ketiga dan keempat belum dikhitan. Karena keadaan saat itu, ke-empat anak hidup berpencar ketika dewasa.
Soemoprawiro menikah dengan Amnah, gadis Banjar, mempunyai sebelas anak (delapan putri dan tiga putra) tinggal di Kalsel, setelah pensiun menetap di Bogor.
Sadiran merupakan satu-satunya yang menetap di tanah kelahirannya di Trenggalek. Dia menikah dengan Sumini, gadis Trenggalek dan mempunyai lima anak (dua putra dan tiga putri).
Mukidi menikah dengan Sumirah, gadis Jember kelahiran Kudus Jawa Tengah dan mempunyai sebelas anak (enam putra dan lima putri) bertempat tinggal di Jember.
Sastrosudarmo menikah dengan Suminem, gadis Kediri, mempunyai sembilan anak (lima putri dan empat putra) tinggal di Kediri.